KARENA seorang serdadu bernama Shalit, Gaza jadi porak-poranda. Seluruh warga Palestina yang tidak berdosa, harus menanggung akibatnya. Ribuan prajurit ditawan. Puluhan menteri dan anggota Parlemen Palestina pun ikut disekap Israel.

Ceritanya berawal ketika milisi di Gaza dikabarkan menculik Kopral Gilad Shalit pada 25 Juni silam. Hamas, kelompok yang saat ini mengendalikan pemerintahan Palestina, menginginkan agar dilakukan pertukaran tawanan.

Israel berbicara tentang seorang prajurit, kami berbicara soal 10.000 orang tahanan Palestina…. Itu sebabnya kami mengupayakan pertukaran tahanan. Solusinya sederhana saja: pertukaran! Begitu kata Khaled Meshaal, Pemimpin Hamas di pengasingan.

Namun Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert menampik: “Saya tidak akan membebaskan tahanan untuk ditukar dengan Gilad Shalit.” Ia berjanji akan membawa Shalit pulang dengan meningkatkan serangan sebagai hukuman kolektif terhadap Palestina.

Hukuman kolektif? Bukankah, Amerika Serikat (AS) membombardir Afghanistan untuk mencari seorang Osama bin Laden? Pun mereka membumihanguskan Irak untuk menemukan senjata pemusnah massal. Dengan logika pongah ini, Olmert mendapat pembenaran.

Gayung bersambut. Ketika 12 Juli, Hizbullah menyerang patroli tentara Israel sebagai dukungan atas Palestina. Di perbatasan Libanon Selatan. Mereka menculik dua tentara Israel. Membunuh delapan diantaranya. Israel gelap mata. Libanon pun diluluhlantakkan.

Bandara hancur. Jembatan putus. Stasiun televisi Al-Manar roboh. Pembangkit tenaga listrik musnah terbakar. Apartemen dan kamp pengungsian juga tidak luput dari amuk. Di Qana Libanon, Minggu 30 Juli lalu, 54 orang tewas diterjang bom Israel. Hampir 40 orang anak menjemput maut seketika.

Kita jadi ingat film Saving Private Ryan (1998). Film yang bercerita tentang pencarian prajurit James Ryan di tengah ganasnya Perang Dunia Kedua. Tom Hanks tampil sebagai tokoh sentral. Memerankan Kapten Miller yang memimpin tujuh orang anggota pleton penyelamat.

Steven Spielberg, sutradara berdarah Yahudi, membuka film tersebut dengan prolog yang menampilkan detil kebrutalan perang. Lengan dan kaki buntung. Gerak lambat peluru-peluru menembus tubuh. Mayat-mayat bergelimpangan. Air laut yang berubah merah oleh darah.

Banyak hal yang ingin disampaikan Spielberg dalam film ini. Salah satunya tentang sikap proporsional. Untuk menemukan seorang prajurit (Ryan), tidak diperlukan operasi besar-besaran. Delapan orang cukup!

Sayangnya, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert tidak terkesan dengan pesan dalam film Spielberg. Atau bahkan mungkin belum pernah menontonnya sama sekali. Saving Private Shalit versi Olmert, bukanlah adaptasi dari Saving Private Ryan versi Spielberg.

Untuk menyelamatkan Kopral Shalit, Olmert harus mengerahkan jet-jet tempur. Mengutus tank-tank. Hingga kapal-kapal perang di Laut Mediterania. Hampir seribu jiwa melayang. Tidak terkecuali empat nyawa tentara penjaga perdamaian PBB.

Melihat korban yang begitu banyak (dan tidak berhubungan langsung dengan konflik), kita patut mencurigai tujuan Israel yang sesungguhnya. Seperti halnya mencurigai AS yang tidak kunjung menemukan Osama bin Laden. Justru lebih asyik membagi kavling pengeboran minyak di Afghanistan.

Issu senjata pemusnah massal Irak, juga tenggelam. Opini dunia diarahkan pada bom bunuh diri. Kekerasan sektarian di Irak (yang direkayasa). Hingga proses pengadilan Sadam Husein atas tuduhan kejahatan perang.

Penculikan Kopral Shalit hanyalah tameng legitimasi pembantaian sipil yang dirancang tentara Israel. Hizbullah dan Hamas cuma target antara. Karena wanita dan anak-anaklah yang banyak menjadi korban. Tubuh mereka kaku terhimpit bangunan. Atau melepuh karena bom radioaktif Israel.

Meski sama-sama berdarah Yahudi, ternyata Olmert bukanlah Spielberg.***

ASWAN ZANYNU, Penikmat Ikon.